Namaku
Keisya, aku anak kedua
dari 2 bersaudara.
Ibuku Fatimah, ia hanyalah seorang buruh tani, sedangkan ayahku, ia telah meninggal 2 tahun yang lalu.
Aku siswi kelas 3 SMA
di sekolah swasta di desaku. Aku mempunyai cita-cita menjadi seorang guru
profesional, oleh karena itu aku ingin sekali kuliah dikota, makanya aku giat
belajar utuk mendapatkan beasiswa.
Akhirya,
aku mendapatkan beasiswa yang ku inginkan. Aku pun meminta izin kepada Ibuku untuk kuliah di kota. Awalnya ibu ragu, karena ia memikirkan
dengan siapa dan bagaimana nanti dengan biaya aku tinggal dikota. Aku pun berusaha
meyakinkannya.
“Bu, nanti Keisya
tinggal di asrama, jadi Keisya nanti tidak akan sendiri. Mengenai makan, buku,
dan uang SPP, semua akan diberikan Bu. jadi Ibu tidak perlu khawatir. Boleh ya
Bu?” bujukku.
“Ya sudah kalau
keinginanmu begitu. Ibu izinkan” ujarnya, dengan raut wajah yang masih ragu.
Akhirnya aku pun kuliah, ku niatkan untuk benar-benar
fokus belajar. Dan Alhamdulillah nilai hasil
semesteranku memuaskan, dengan
IP
di atas 3,5. Kemudian,
aku
pun mendapatkan beasiswa kembali untuk semester-semester selanjutnya. Tibalah
waktunya KKN. Pendaftaran KKN
memang gratis, tetapi aku yang memerlukan biaya yang lumayan
besar untuk kehidupan sehari-hariku
nanti yaitu Rp1.000.000. Aku mulai bingung, karena uang
beasiswa hanyalah cukup untuk membayar SPP dan keperluanku sehari-hari, aku
tidak ingin meminta kepada Ibu karena kasihan padanya, oleh karena itu ku putuskan untuk bekerja sambil kuliah.
Aku
tidak malu bekerja apa pun,
asalkan itu halal,
mulai dari mengajar, menjaga tokoh di pasar, warung makan, hingga menjual kue
keliling. Tetapi,
ternyata hasil kerjaku hanya terkumpul Rp750.000.
“Masih kurang Rp250.000,
kemana lagi cari uang ya?” ujarku dalam hati..
Karena
tidak ada pilihan lain, aku pun meminta bantuan Ibu, ku kirim surat padanya.
Tiga
hari kemudian, Ibu membalas suratku beserta uang Rp250.000 yang aku minta, sehingga aku pun
bisa ikut KKN.
Targetku untuk selesai kuliah hanya tiga tahun setengah
pun tercapai. Tibalah waktunya wisuda, dan seminggu yang lalu telah ku kabarkan
kepada Ibu, ku minta ia untuk hadir. Tetapi saat hari bersejarah itu tiba, aku sangat
terkejut dengan penampilan Ibu. Ibu memakai pakaian yang jauh dikatakan bagus.
“Bu, apakah tidak ada baju yang lain?
Baju Ibu kan banyak” ucapku dengan sedikit kesal karena malu.
“Emang kenapa nak? Yang penting Ibu bisa hadir bukan?.”
“Iya Bu, tetapi tidak enak Bu dilihat orang banyak.”
“Yang terpenting bagi Ibu adalah bisa melihatmu
memakai baju toga ini nak.”
“Ya sudahlah Bu kalau begitu”. Jawabku sambil mengajak ibu masuk ke ruang
wisuda.
Setelah wisuda barulah aku mengetahui alasan Ibu berpenampilan
seperti itu, ternyata Ibu telah menjual pakaian-pakaiannya yang bagus demi uang
Rp250.000 yang ku pinta saat itu, karena hanya itu yang bisa dijadikan uang
dirumah, dan yang tersisa hanyalah pakaian sehari-hari yang biasa ia pakai bekerja.
Aku merasa sangat bersalah, aku pun langsung memeluk dan
mencium tangannya, ku minta maaf karena telah kesal padanya, dan ku ucapkan
terimah kasih atas pengorbanannya untuk ku. Dan aku pun berjanji untuk selalu
membahagiakannya, “Ya Robb, izinkan hamba untuk selalu membahagiakan Ibuku,
aamiin” doaku dalam hati.
*****